Jumat, 11 April 2014




Seorang bapak dan ibu menemuiku. Mereka membawa buletin  kami yang terbaru. Katanya mereka mendapatkan buletin itu dari temannya. Mereka memuji-muji buletin kami yang mengisahkan kehidupan anak-anak dampingan. Pembicaraan kami berlanjut pada isi buletin. Akhirnya bapak itu mempertanyakan mengapa terjadi banyak pencurian dalam rumah kami. apakah tidak ada cara untuk menghentikan pencurian?
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi? Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka? Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain.
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah sering kudengar. Ini bukan pertanyaan baru lagi. Aku berusaha menjelaskan bahwa pendampingan anak jalanan itu sulit. Sebelum masuk dalam aktifitas ini aku sudah tahu akan resiko yang bakal aku terima selama pendampingan ini. Mengubah seseorang butuh waktu. Apalagi yang menyangkut nilai dan perilaku. Ini tidak mudah. Butuh proses yang lama dan panjang. Memang gambaranku sebelum masuk itu tidak separah setelah aku menjalaninya selama ini. Banyak kesulitan yang muncul, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Banyak anak jalanan masih membawa kehidupan jalanan dalam rumah singgah. Akibatnya pencurian, perkelahian dan kehidupan jalanan lain masih sering terjadi dalam rumah singgah. Inilah resiko keputusanku. Bapak itu bertanya apakah aku tidak memilih siapa saja yang boleh tinggal di rumah singgah. Hal ini tidak mudah. Memang beberapa teman juga mempunyai pendapat yang sama yaitu diadakan seleksi anak jalanan. Tapi pertanyaan besar bagiku adalah bagaimana aku bisa memilih anak jalanan yang baik? Secara teori hal itu mungkin dan mudah, tetapi di lapangan tidak semudah apa yang dikatakan dalam teori dan saran-saran.
Akhirnya mereka bertanya mengapa aku bertahan untuk mendampingi anak yang tidak bisa diubah? Pertanyaan ini juga sering muncul dalam diriku sendiri ketika sedang dalam saat putus asa. Mengapa aku harus ada di sini? Mengapa aku mau menyusahkan diri berteman dengan mereka yang tidak bisa diajak berteman? Alasan klasik bagiku adalah bahwa sebetulnya mereka membutuhkan orang yang peduli pada mereka. Jawaban ini bisa menjadi pertanyaan baru, jika mereka membutuhkan orang yang mau menolong, mengapa mereka melakukan perusakan, pencurian dan hal negatif lainnya? Mengapa mereka tidak mau menyadari diri bahwa mereka ditolong lalu ada niat untuk berubah?
Ibu itu bertanya bagaimana jika ada orang tahu bahwa barang yang mereka sumbangkan ternyata hilang dicuri? Ibu itu menyatakan bahwa pasti orang yang memberi itu akan kecewa. Aku katakan bahwa aku juga kecewa. Tapi yang membuatku kecewa bukan barang yang hilang melainkan sikap mencuri barang itulah yang membuatku kecewa. Aku merasa belum mampu mengubah mereka untuk mencintai barang-barang miliknya. Ibu dan bapak itu semakin gencar menyarankan agar aku meninggalkan mereka dan mulai serius di paroki. Masih banyak orang yang membutuhkan pendampingan, mengapa susah-susah mendampingi orang yang tidak mau berubah?
Setelah lama memberikan nasehat, mereka pulang dan meninggalkan aku sendirian dalam pertanyaan-pertanyaan. Benarkan saran mereka agar aku meninggalkan anak-anak dan serius di paroki? Aku sudah disana selama ini dan mereka masih mencuri, berkelahi, ditangkap polisi, membuat rusuh kampung dan tindakan jahat lainnya. Mereka masih tidak bisa berubah. Aku tadi sempat mengatakan bahwa aku mencintai mereka. Namun bapak dan ibu itu mengatakan cinta juga harus rasional. Cinta harus tegas dan kadang memberikan pelajaran agar mereka sadar. Cinta tidak berarti menerima saja segala tindakan buruk. Cinta tidak harus juga mengajar dengan keras. Mereka mengatakan aku aneh jika masih mencintai mereka yang sudah jelas tidak mau membalas cintaku, bahkan sebaliknya hanya menyusahkan saja.
Dalam permenunganku di kamar, aku teringat pada ibuku. Ibu mengajarkan cinta yang tidak rasional. Ibu bukanlah perempuan berpendidikan tinggi. Dia hanya perempuan sederhana produk jaman penjajahan. Tapi aku banyak belajar cinta dari ibu secara nyata. Bukan hanya teori tentang cinta melainkan praktek cinta. Aku ingat bagaimana bapak sering menyalahkan ibu yang bertindak bodoh. Ibu dengan tenang memberi makan orang yang sama sekali tidak dikenal, padahal anak-anaknya banyak dan semua membutuhkan makan yang cukup. Ibu memberikan uang pada orang, padahal uang itu sangat berarti bagi kami. ibu berani meminjami orang uang, padahal tahu bahwa orang ini pasti tidak akan mengembalikan. Dan masih ada lagi tindakan ibu yang dianggap bapak sebagai tidakan yang tidak diperhitungkan akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar