Seorang bapak dan ibu
menemuiku. Mereka membawa buletin kami yang terbaru. Katanya mereka
mendapatkan buletin itu dari temannya. Mereka memuji-muji buletin kami yang mengisahkan
kehidupan anak-anak dampingan. Pembicaraan kami berlanjut pada isi buletin.
Akhirnya bapak itu mempertanyakan mengapa terjadi banyak pencurian dalam rumah
kami. apakah tidak ada cara untuk menghentikan pencurian?
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi? Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka? Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain.
Apakah aku tidak melaporkan saja semua itu pada polisi? Mengapa aku masih berusaha melindungi mereka? Mengapa aku masih bertahan dan menampung mereka? Mengapa tidak menutup saja rumah singgah itu dan membuka pelayanan lain.
Pertanyaan-pertanyaan ini
sudah sering kudengar. Ini bukan pertanyaan baru lagi. Aku berusaha menjelaskan
bahwa pendampingan anak jalanan itu sulit. Sebelum masuk dalam aktifitas ini
aku sudah tahu akan resiko yang bakal aku terima selama pendampingan ini.
Mengubah seseorang butuh waktu. Apalagi yang menyangkut nilai dan perilaku. Ini
tidak mudah. Butuh proses yang lama dan panjang. Memang gambaranku sebelum
masuk itu tidak separah setelah aku menjalaninya selama ini. Banyak kesulitan
yang muncul, yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Banyak anak jalanan masih membawa
kehidupan jalanan dalam rumah singgah. Akibatnya pencurian, perkelahian dan
kehidupan jalanan lain masih sering terjadi dalam rumah singgah. Inilah resiko
keputusanku. Bapak itu bertanya apakah aku tidak memilih siapa saja yang boleh
tinggal di rumah singgah. Hal ini tidak mudah. Memang beberapa teman juga
mempunyai pendapat yang sama yaitu diadakan seleksi anak jalanan. Tapi
pertanyaan besar bagiku adalah bagaimana aku bisa memilih anak jalanan yang
baik? Secara teori hal itu mungkin dan mudah, tetapi di lapangan tidak semudah
apa yang dikatakan dalam teori dan saran-saran.
Akhirnya mereka bertanya
mengapa aku bertahan untuk mendampingi anak yang tidak bisa diubah? Pertanyaan
ini juga sering muncul dalam diriku sendiri ketika sedang dalam saat putus asa.
Mengapa aku harus ada di sini? Mengapa aku mau menyusahkan diri berteman dengan
mereka yang tidak bisa diajak berteman? Alasan klasik bagiku adalah bahwa
sebetulnya mereka membutuhkan orang yang peduli pada mereka. Jawaban ini bisa
menjadi pertanyaan baru, jika mereka membutuhkan orang yang mau menolong,
mengapa mereka melakukan perusakan, pencurian dan hal negatif lainnya? Mengapa
mereka tidak mau menyadari diri bahwa mereka ditolong lalu ada niat untuk
berubah?
Ibu itu bertanya bagaimana
jika ada orang tahu bahwa barang yang mereka sumbangkan ternyata hilang dicuri?
Ibu itu menyatakan bahwa pasti orang yang memberi itu akan kecewa. Aku katakan
bahwa aku juga kecewa. Tapi yang membuatku kecewa bukan barang yang hilang
melainkan sikap mencuri barang itulah yang membuatku kecewa. Aku merasa belum
mampu mengubah mereka untuk mencintai barang-barang miliknya. Ibu dan bapak itu
semakin gencar menyarankan agar aku meninggalkan mereka dan mulai serius di
paroki. Masih banyak orang yang membutuhkan pendampingan, mengapa susah-susah
mendampingi orang yang tidak mau berubah?
Setelah lama memberikan
nasehat, mereka pulang dan meninggalkan aku sendirian dalam
pertanyaan-pertanyaan. Benarkan saran mereka agar aku meninggalkan anak-anak
dan serius di paroki? Aku sudah disana selama ini dan mereka masih mencuri,
berkelahi, ditangkap polisi, membuat rusuh kampung dan tindakan jahat lainnya.
Mereka masih tidak bisa berubah. Aku tadi sempat mengatakan bahwa aku mencintai
mereka. Namun bapak dan ibu itu mengatakan cinta juga harus rasional. Cinta
harus tegas dan kadang memberikan pelajaran agar mereka sadar. Cinta tidak
berarti menerima saja segala tindakan buruk. Cinta tidak harus juga mengajar
dengan keras. Mereka mengatakan aku aneh jika masih mencintai mereka yang sudah
jelas tidak mau membalas cintaku, bahkan sebaliknya hanya menyusahkan saja.
Dalam permenunganku di kamar,
aku teringat pada ibuku. Ibu mengajarkan cinta yang tidak rasional. Ibu
bukanlah perempuan berpendidikan tinggi. Dia hanya perempuan sederhana produk
jaman penjajahan. Tapi aku banyak belajar cinta dari ibu secara nyata. Bukan
hanya teori tentang cinta melainkan praktek cinta. Aku ingat bagaimana bapak
sering menyalahkan ibu yang bertindak bodoh. Ibu dengan tenang memberi makan
orang yang sama sekali tidak dikenal, padahal anak-anaknya banyak dan semua
membutuhkan makan yang cukup. Ibu memberikan uang pada orang, padahal uang itu
sangat berarti bagi kami. ibu berani meminjami orang uang, padahal tahu bahwa
orang ini pasti tidak akan mengembalikan. Dan masih ada lagi tindakan ibu yang
dianggap bapak sebagai tidakan yang tidak diperhitungkan akibatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar